Seperti biasa setiap hari selasa malam rabu, saya mengikuti pengajian di Majelis Azzikra pimpinan Ust.H.M.Arifin Ilham. Semua acara berjalan seperti biasa mulai dari shalat magrib berjamaah di Masjid Al-amru bittakwa, kemudian menunggu waktu isya diisi pengajian oleh Asatid dari Azzikra, setelah shalat isya berjamaah kita berjalan menuju pesantren Yatamma Azzikra untuk mendengarkan ceramah oleh ustad yang setiap minggunya selalu berbeda dari luar Azzikra, ustad-ustad ini biasanya adalah ustad dari berbagai majelis atau pesantren yang diundang oleh ustad Arifin.
Tapi kali ini (4 Agustus 2009) agak sedikit berbeda dari biasanya, ustad Arifin tidak bisa hadir karena beliau menghadiri diskusi bersama para ulama membahas ajaran sesat mengenai Negara Islam Indonesia. Sebagai wakilnya pengajian di Azzikra di pandu oleh Ust.Abdul Syukur. Dan perbedaan lainnya adalah “ustad” yang berceramah di Yatamma tidak diundang dari sebuah majelis, melainkan datang sendiri ke majelis azzikra. Perjalanan panjangnya sebagai seorang muallaf telah membawa langkahnya sampai ke Azzikra malam itu.
Dia adalah Muhammad Salim (Tan U Hao) seorang tionghoa asal Madiun-Jawa Timur, nama Indonesianya sebelum islam adalah Slamet Priyanto. Karena “orang baru” dalam islam dia tidak berceramah, melainkan hanya menceritakan kisahnya setelah memeluk islam hingga dia dan keluarganya sampai di Azzikra.
Berikut ini adalah kisah perjalanannya:
Sebelum memeluk islam pada tahun 2007 lalu Muhammad Salim adalah seorang missionaries protestan,. Dia melakukan pekerjaan itu hanya karena dibayar dengan gaji yang cukup besar, bahkan seperti bisnis MLM semakin banyak ia mengkristenkan orang maka semakin tinggi bayaran dan tunjangan yang diberikan gereja padanya.
Sementara dibalik itu semua dia adalah seorang Kristen yang sangat kritis terhadap alkitab (bible), suatu hari ia pernah mengkritisi sebuah kontroversi alkitab di hadapan pastornya, dan lucunya sang pastor hanya menjawab : “sudahlah jangan banyak protes, kalu lo masih mau dibayar lo lakuin aja semua tugas lo!..ngerti!! ….”
selama kiprahnya sebagai seorang missionaries ia telah berhasil mengkristenkan lebih dari 1800 orang dengan cara-cara licik dan penuh tipu daya. Satu-satunya kegagalannya adalah ketika ia gagal mengkristenkan seorang wanita asal Pangkal Pinang yang telah dinikahinya, pada hal tujuan awalnya menikah dengan wanita itu adalah untuk mengkristenkannya.
Muhammad Salim mengakui ia masuk islam tanpa ada seorang islam pun yang mempengaruhinya, bahkan juga bukan karena istrinya yang tetap seorang muslimah. Awalnya ia hanya menemukan banyaknya kontroversi dalam alkitab, namun karena gengsinya sebagai seorang missionaries ia tak mau membukanya pada khalayak umum. Sampailah pada satu malam ia mendapat hidayah melalui sebuah mimpi. Dalam mimpi ia diperlihatkan sebuah masjid yang kecil berwarna putih dan bercahaya, ia kemudian masuki masjid itu dan melihat di dalamnya ada 7 orang yang berpakaian serba putih mengenakan sorban ala AA Gym katanya. Ia tidak mengenali ke tujuh orang itu namun kok seolah-olah akrab dengannya, salah seorang dari mereka kemudian berkata “Hei slamet kamu itu dari lahir hingga sekarang jalan mu kok gelap terus, ini adalah jalan yang terang. Tapi ingat kalau kamu mengambil jalan ini kamu akan banyak menemui cobaan dan ujian.” Kemudian ia terbangun pukul 02.10 katanya.
Setelah mimpi itu ia ingin tahu lebih banyak tentang islam dan mendatangi sebuah pesantren di Jawa Timur untuk belajar islam. Ia kemudian memutuskan untuk memeluk islam walau ia tahu semua gaji dan tunjangan yang ia terima dari gereja selama ini akan dihentikan, ia mengucapkan sahadatain di depag Madiun dan mengganti namanya dari Slamet Priyanto menjadi Muhammad salim, salah seorang pegawai depag bernama Mas’ud memberinya sebuah sajadah dan berpesan “ Pak Salim mungkin akan banyak cobaan yang akan bapak temui, tapi jangan sampai menggoyahkan keimanan bapak terhadap islam, selalu minta pertolongan pada Allah bukan pada yang lain.
Mengetahui ia telah memeluk islam, semua keluarganya meradang . Ia bersama istri dan ketiga anaknya hanya di izinkan tinggal di rumah orang tua tapi tidak boleh menggunakan fasilitas apapun, kalau mau makan tidak boleh makan keluarga, makan harus beli sendiri.
Untuk menambah pengetahuan islamnya ia belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur
Untuk memenuhi makan keluarganya ia berjualan balon tiup busa sabun menelusuri gang demi gang, sementara istrinya membikin rempeyek untuk dijual, sering kali ia merugi dan berpuasa,karena tidak punya makanan. Walaupun semua saudara-saudaranya yang sama-sama tinggal di rumah itu makan dan tertawa bersama, ia dan keluarganya hanya bisa mendengar dari dalam kamar. Selain itu ia dan keluarganya juga terus menerus di provokasi dan di intervensi oleh saudara dan ipar-iparnya. Sementara itu anak-anaknya yang ia keluarkan dari sekolahan Kristen tidak lagi bisa bersekolah .
Waktu berlalu, ekonomi kecilnya pun kolaps di terjang badai krisis, ia tidak bisa lagi menggoreng peyek karena harga minyak goreng naik ga’ karu-karuan.
Suatu hari (kira-kira 18 hari sebelum ia sampai di azzikra) provokasi yang ia hadapi mencapai puncaknya. Ia kedengaran sedang belajar membaca Iqra’ dikamar oleh kakaknya, kemudian sang kakak menegur “kamu itu kalau mau belajar ngaji di Masjid, Jangan di rumah” karena udah ga’ tahan karena di provokasi terus-terusan ia melawan dan berkata “kamu juga jangan baca alkitab di rumah ini, kamu hanya membodohi jemaatmu”. Karena hal itu semua keluarganya marah besar, mereka mengusirnya dari rumah “ mulai hari ini kamu dan keluargamu angkat kaki dari rumah ini, Kita putus hubungan darah……..”
Ia dan istrinya keluar dari rumah itu, tujuannya adalah kerumah orang tua istrinya di Pangkal Pinang- Kepri. Karena tak punya uang ia menjual 3 potong celana jeansnya termasuk sajadah pemberian pak Mas’ud pegawai depag Madiun juga ia jual. Dengan uang itu ia tak mungkin sampai di Pangkal Pinang, makanya ia memutuskan untuk pindah dari kota ke kota lain dan ia yakin pertolongan Allah pasti datang. Kota yang ia singgahi adalah Solo, Semarang, Tegal, Cirebon hingga ia sampai di Jakarta. Ketika sampai di Solo uangnya tinggal dua puluh ribu saja kemudian ia berkenalan dengan seseorang yang menyarankannya untuk minta bantuan keberbagai pesantren dan yayasan. Begitulah Ia pindah dari kota ke kota lain dari uang yang ia peroleh dari pemberian orang yang ia kenal di jalan atau dari beberapa pesantren dan depag kota setempat. Banyak sekali kisah sedih yang ia jalani, ia berjalan dengan perut lapar dan tidur di Terminal, ia pernah berjalan seharian dari kantor ke sebuah pabrik ,kemudian ke sebuah hotel hanya untuk “gagal” menemui pimpinan PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) di sebuah kota. Bahkan ia pernah di usir oleh seorang kiyai kaya, dan sering kali ia harus melewati prosedur yang berbelit pada hal akhirnya ia hanya dikasih duit dua puluih ribu rupiah…(lumayan.) Hal ini menunjukkan betapa ummat islam sendiri sudah jarang yang mempedulikan ajaran islam yang sangat menganjurkan pemeluknya untuk menolong orang-orang yang sedang kesulitan dan membutuhkan seperti para muaallaf, dan musafir. Bahkan sering kita malah berburuk sangka ,menganggap orang yang minta sumbangan sebagai penipu.
“””Ya Allah ampuni dosa Hamba yang sering beburuk sangka, Anugerahilah Hamba kemampuan dan kemauan untuk selalu menolong orang yang sedang kesulitan…Amiinnn…!”””””
Setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahklan akhirnya ia sampai di Jakarta. Seseorang yang baru saja dikenalnya di daerah Menteng-Jakpus menyarankan agar ia menuju sebuah yayasan di Kota Depok, setelah sampai di Depok Ia pun menelusuri jalan Margonda sesuai dengan petunjuk yang diberikan orang itu. Seharian berjalan ia tak menemukan alamat yang ia maksud, ia kembali ke terminal untuk istirahat dan shalat di mesjid dekat terminal. Di terminal inilah ia bertemu dengan Zaki seorang alumni pesantren Azzikra, Zaki menunjukkan kepadanya yayasan yang sedang dicarinya, dan Zaki juga menyarankan supaya menemui ust. Arifin di Majelis Azzikra di komplek Mampang Indah 2 Depok.
Dari yayasan yang seharian ia cari ia di bekali uang 150.000 rupiah dan sesuai arahan Zaki ia pun menuju majelis Azzikra. Setelah sampai di Azzikra ternyata ustad sedang berada di Medan. Ia disarankan agar pergi ke Perumahan Azzikra yang berada di Bukit Sentul-bogor, karena balik dari Medan pak ustad akan langsung ke sana, ia pun berangkat ke Sentul dan sesampainya di sana ternyata pak ustad belum kembali dari Medan.
Keesokan harinya ketika diberi tahu bahwa ustad telah datang ia langsung menemuinya di rumahnya, ia sangat terkesan dengan sambutan dan keramahan ustad. Setelah menceritakan kisahnya Pak ustad memberinya bekal dan menyarankan agar ia kembali ke Majelis Azzikra di Depok, pak ustad mengatakan bahwa di Depok ada pengajian setiap malam rabu cobalah berceramah disana. Ustad Arifin kemudian menelpon ustad Abdul Syukur agar mendampingi pak Salim selama di Depok, Pak Salim pun kembali ke Depok , dia sangat senang bisa “berceramah” kembali, karena setelah turun dari mimbar nasrani ini adalah kali pertama ia tampil bercerita di depan umum.
Setelah selesai bercerita ia kembali duduk dan memberikan microfon pada pak ustad Abdul Syukur. Ustad Syukur mengatakan bahwa semua infak yang terkumpul malam ini akan diberikan pada pak Salim sebagai tambahan bekal perjalanannya menuju Pangkal Pinang. Ustad syukur berpesan “pak Salim,, lantaran dulu bapak telah memurtadkan lebih dari 1800 orang muslim, saya harap sekarang setelah islam bapak bisa menjadi pencerah iman bagi kaum muslimin dan menyampaikan kebenaran Islam,, Bisa ya Pak…!!!” pak Salim menjawab : “” Demi Allah, saya akan menyampaikan kebenaran Islam dan saya bertekad akan mengislamkan orang melebihi jumlah yang dulu saya pernah mengkristenkan orang!!!!....”” “”Saya juga menantang debat mantan father-father saya dulu jika mereka menginginkannya””
Mendengar tekad pak Salim semua jamaah yang hadir di Azzikra serempak meneriakan Takbir “”Allahu..Akbar…… Allahu…Akbar…….””
“”Selamat datang dalam Islam pak Muhammad Salim, selamat melanjutkan perjalanan, semoga Allah selalu menyertai, dan semoga semua harapan Bapak untuk menyampaikan kebenaran islam diwujudkan Allah Azza Wajalla..Aminn…””
Syaiful Putra